>
![]() |
| Foto ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas. (Muhammadiyah.or.id) |
Pacitansatu.com -Dalam Tabligh Akbar Milad ke-113 Muhammadiyah yang berlangsung di Tasikmalaya, Sabtu (29/11), Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anwar Abbas, menyampaikan seruan tegas tentang perlunya kebangkitan ekonomi umat. Pesannya disampaikan dengan gaya yang hangat namun sarat peringatan, terutama terkait lemahnya ketahanan ekonomi masyarakat Muslim.
Ia membuka pidatonya dengan kisah tahun 1970-an, saat dirinya sering berkunjung ke Tasikmalaya. Dengan nada jenaka, ia mengenang momen ketika salah paham terhadap bahasa Sunda; mengira teriakan “cai” adalah nama makanan, padahal penjual itu menawarkan air minum. Cerita ringan tersebut menjadi pintu masuk menuju pembahasan yang jauh lebih serius: problem ekonomi umat. Anwar menilai bahwa isu ekonomi berada di titik paling rentan dan berpotensi memengaruhi struktur keagamaan masyarakat. Ia menyinggung penurunan persentase umat Islam dari 95 persen pada masa awal kemerdekaan menjadi 86,8 persen hari ini, yang menurutnya turut dipengaruhi tekanan ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Ia mengangkat contoh nyata dari kampung halamannya di Sumatera Barat tentang seorang siswa Madrasah Aliyah yang berpindah agama karena tidak mampu menanggung biaya pendidikan. Ketika pihak agama lain menawarkan bantuan, siswa tersebut tergoda karena himpitan ekonomi keluarganya. “Imannya goyang karena ekonomi,” ujar Anwar dengan penekanan. Ia kemudian berkisah bahwa setelah ada tokoh Muhammadiyah yang membiayai seluruh pendidikannya, siswa tersebut kembali memeluk Islam. Bagi Anwar, kisah ini menunjukkan perlunya jaminan ekonomi bagi generasi muda agar tidak mudah terombang-ambing keadaan. Dalam konteks yang lebih luas, Anwar mengingatkan bahwa Muhammadiyah telah lama dikenal dengan dua pilar kuat: pendidikan dan kesehatan. Kedua bidang itu telah menyebar ke daerah seperti NTT, Sulawesi Utara, hingga Papua, bahkan melayani banyak siswa dari keluarga non-Muslim yang membayar sekolah dengan hasil kebun. Ia menegaskan bahwa kontribusi itu patut dihargai, tetapi belum cukup untuk menciptakan kemandirian jangka panjang. Menurutnya, tanpa kekuatan ekonomi yang kuat, perjuangan di bidang pendidikan dan kesehatan tidak akan memiliki pondasi yang stabil. Anwar juga menyoroti fakta bahwa Muhammadiyah termasuk dalam daftar 10 organisasi terkaya di dunia dengan estimasi aset sekitar Rp400 triliun. Namun, ia membandingkannya dengan kekayaan individu seperti Prayogo Pangestu yang mencapai Rp500 triliun, untuk menunjukkan bahwa skala ekonomi Muhammadiyah masih relatif kecil. Dari perbandingan itu, ia menyerukan agar warga Muhammadiyah berani masuk ke dunia bisnis. Ia menilai pola pikir warga masih didominasi mentalitas pegawai, yang membuat banyak orang lebih memilih profesi aman seperti guru, PNS, atau polisi dibandingkan menjadi pengusaha. Ia menekankan bahwa dunia usaha selalu mengandung risiko, tetapi juga peluang keuntungan besar. Rendahnya jumlah pengusaha Muhammadiyah dianggapnya sebagai hambatan menuju kemandirian ekonomi umat dan bangsa. Dalam pidatonya, ia juga mengutip empat etos bisnis etnis Tionghoa yang pernah disampaikan Deddy Corbuzier: menabung besar, menghindari utang berbunga, hidup sederhana, dan menjual barang dengan harga kompetitif. Anwar menilai prinsip itu relevan untuk memperbaiki cara pandang ekonomi umat Islam. Selain itu, ia menegaskan perlunya “hijrah mentalitas”. Hijrah tersebut bukan berpindah tempat, tetapi berpindah dari pola pikir statis menuju pola pikir progresif yang membuka peluang baru. Ia bahkan menggambarkan mimpi besar: suatu hari masyarakat dunia dapat terbang dengan “Muhammadiyah Airlines” atau menginap di “Aisyah Resort”. Menurutnya, mimpi itu bukanlah angan-angan kosong. Banyak tokoh yang puluhan tahun lalu tidak dikenal, kini mampu menjadi konglomerat besar. Ia meyakini bahwa dengan keberanian dan kerja keras, Muhammadiyah pun dapat mencapai hal serupa. Menutup pidatonya, Anwar mengajak seluruh warga Muhammadiyah, termasuk generasi muda dari sekolah-sekolah seperti Al-Furqan, untuk tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga siap menjadi pelaku ekonomi yang memajukan bangsa. “Jika kita ingin nasib kita berubah,” ujarnya mengutip QS. Ar-Ra’d:11, “maka kitalah yang harus berusaha mengubahnya.” _penyunting - Ahyar fauzan |



